Thursday 30 July 2015

Why We Sew

Little A dan mesin jahit baru

Saya selalu bangga mengakui kalau saya anak penjahit. Setiap mengisi kolom keterangan pekerjaan orang tua, selalu saya isi: penjahit. Tapi saya sama sekali tidak bangga dengan kenyataan bahwa saya tidak bisa menjahit, hiks. Setidaknya tidak sampai level membuat baju yang bisa dipakai.

Bapak saya penjahit dan ibu saya mempunyai toko alat-alat jahit. Sejak kecil, saya sudah ikut membantu berjualan di toko dan bisa mengoperasikan mesin obras, wolsom, pembuat lubang kancing dan pembuat kancing bungkus. Ketika SD dan SMP, saya bebas berkreasi dengan kain-kain perca (kadang cukup lebar) untuk membuat tas kain dan aksesori lain. Ketika zaman kuliah, saya berjualan sprei yang saya jahit sendiri dengan meminjam mesin jahit Bapak, untuk menambah uang saku saya yang sangat terbatas. 

Tapi itu saja, saya tidak pernah berminat sungguh-sungguh belajar menjahit. Apalagi bercita-cita menjadi penjahit. Di mata saya, profesi penjahit sungguh kurang keren dan pekerjaannya pun bikin pusing menghadapi permintaan pelanggan yang aneh-aneh dan demanding. Level dikejar 'deadline' nya lebih mengerikan daripada deadline menulis :D Ibu juga menyekolahkan saya sampai sarjana agar saya tidak 'cuma' jadi penjahit.

Tapi waktu terus bergulir dan musim demi musim berganti *apaan siiiihh...* Sekarang ini Little A sudah menginjak usia 7 tahun, seumuran dengan ketika saya mulai diajari mengobras oleh ibu. Sayang sekali anak saya ini tidak punya kesempatan untuk pegang mesin jahit dan bebas berkreasi dengan pernak-pernik jahit yang tinggal ambil di toko neneknya. Padahal sedari kecil Little A bercita-cita menjadi fashion designer. Dia punya selera berpakaian yang lebih bagus daripada Kakak dan Emaknya. Dia juga sering jadi komentator fesyen Tante, Uti dan Omanya.

Mungkin saat ini memang pas waktunya buat kami untuk memiliki mesin jahit. Saya baru saja mendapat sisa hasil usaha dari D&Z, label milik adik saya Dila dan temannya, Zata, yang baru saja tutup buku. SHU langsung saya alokasikan untuk membeli mesin jahit. Setelah browsing sana-sini, saya memutuskan untuk membeli mesin jahit di toko resminya, biar nggak repot kalau perlu servis dan tanya ini-itu. Kebetulan yang paling dekat dengan rumah kami adalah diler mesin jahit Singer. Rezeki mereka yah :)

Saya akhirnya membeli mesin jahit Singer Simple 3232 seharga 2,6 juta. Sedikit di atas budget saya yang 2 juta, tapi ini fiturnya sudah lengkap. Kata mas-mas diler sih, hehe. Review mesin jahit menyusul yah.


Alhamdulillah suami saya yang sholeh sangat mendukung rencana saya untuk belajar menjahit bersama anak-anak. Lebih baik anak-anak kecanduan menjahit daripada kecanduan gadget lain, katanya. Lagipula, mesin jahit harga segitu masih lebih murah daripada harga henpon-nya, hahaha. Plus, tanpa wifi-pun mesin sudah bisa jalan :p

Saya percaya menjahit termasuk salah satu ketrampilan dasar yang harus saya ajarkan ke anak-anak. Minimal anak-anak tidak takut jarum, bisa menjahit dengan tangan, pasang kancing baju dan memperbaiki baju yang sobek. Dengan adanya mesin jahit, kami bisa meningkatkan ketrampilan sekaligus membuat craft yang lucu-lucu. Eh siapa tahu nanti bisa dijual! *tring tring radar Emak-Emak nyala* Tapi sekali lagi, yang paling penting adalah anak-anak punya kesempatan untuk bebas berkreasi, saya hanya bisa menyediakan sarana dan menemaninya belajar.


~ Emak Ade

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...